Sabtu, 18 April 2020

Dominasi Pemerintahan Kolonial Belanda

Wawan Setiawan Tirta
Tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda setelah sebelumnya dikuasai oleh Inggris. Tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal. Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang terdiri atas tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes (anggota), dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota). Dengan tugas utama menormalisasikan keadaan di Hindia Belanda.

Sementara itu perdebatan antar kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat.

A. Kebijakan Jalan Tengah
Kebijakan jalan tengah adalah kebijakan yang merupakan jalan tengah yang diambil diantara pertentangan kaum liberal dan kaum konservatif dalam mengelola tanah jajahan di Indonesia. Ketiga Komisaris sepakat menerapkan kebijakan jalan tengah yaitu eksploitasi kekayaan ditanah jajahan langsung ditangani oleh pemerintah Hindia Belanda.

Namun kebijakan ini tidak berjalan mulus. Akhirnya pada 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi ditanah jajahan adalah Gubernur Jenderal. Van der Capellen ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal.

Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapus peran penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat). Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan. Kemudian ia dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies. Kebijakan De Bus tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan barangbarang yang diekspor.

B. Sistem Tanam Paksa
Tahun 1829 seorang tokoh bernama Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda usulan yang berkaitan dengan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia. Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki ekonomi, di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman yang dapat laku dijual di pasar dunia. Konsep Bosch itulah kemudian dikenal dengan Cultuur stelsel atau tanam paksa.

Ketentuan Tanam Paksa
Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal baru di Jawa. Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut.
  1. Penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa.
  2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
  3. Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  4. Tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  5. Hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.
  6. Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah.
  7. Penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum.
  8. Penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun.

Pelaksanaan Tanam Paksa
Tanam Paksa dilaksanakan dengan cara sebagai berikut.
  1. Sistem tanam paksa harus menggunakan organisasi desa
  2. Pengerahan tenaga kerja melalui sambatan, gotong royong, gugur gunung
  3. Peran kepala desa sangat sentral sebagai penggerak petani, penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah
 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda setelah sebelumnya dikuasai oleh Inggri Dominasi Pemerintahan Kolonial Belanda
Tanam paksa yang dilaksanakan telah membawa penderitaan rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit. Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus. Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun 1850.

Walaupun banyak merugikan rakyat, namun Tanam Paksa juga memiliki beberapa dampak positif bagi rakyat, diantaranya adalah dikenalkan tanaman jenis baru untuk ekspor, dibangun saluran irigasi, dan dibangun jaringan rel kereta api. Sedangkan dampak negatifnya adalah sebagai berikut.
  1. Pelaksanaan tanam paksa tidak sesuai dengan peraturan
  2. Terjadi tindak korupsi dari pegawai dan pejabat dan rakyat sangat menderita
  3. Para pekerja jatuh sakit dan terjadi bahaya kelaparan
  4. Hindia Belanda mengeruk keuntungan 832 jt gulden 1831- 1877

C. Sistem Usaha Swasta
Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa. Pihak yang pro Tanam Paksa tetap adalah kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah, sedangkan yang kontra adalah mereka dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas liberalisme.

Setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di Parlemen (Staten Generaal). Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam urusan tanah jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya perubahan dan pembaruan. Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri.

Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-kontrak Gula) tulisan Frans van de Pute. Secara berangsur-angsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal.

Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
  1. Tahun 1864 dikeluarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh Parlemen.
  2. Undang-undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta.
  3. Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-Undang ini mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain : Pertama, Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua. Pertama, milik pribumi berupa persawahan, kebun,dll. Kedua tanah hutan pegunungan, dll milik pemerintah. Kedua, Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah. Ketiga, Pihak swasta dapat menyewa tanah. Tanah pemerintah disewa sampai 75 tahun, tanah penduduk sampai 5 tahun

Sejak UU Agraria, pihak swasta banyak emasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Munculnya imperalisme modern, kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi sebagai: tempat mendapat bahan mentah dan penanaman modal asing, tempat pemasaran hasil industri dari Eropa, dan penyedia tenaga kerja yang murah.

Sisi positif kebijakan ini antara lain pada tahun 1873 dibangun serangkaian jalan kereta api, tahun 1872 dibangun pelabuhan tanjung priok, Belawan, Teluk Bayur, dan 1883 maskapai tembakau Deli memprakarsai pembangunan jalan kereta api. Sedangkaan dampak negatifnya adalah pelaksanaan usaha swasta membawa penderitaan bagi rakyat bumiputera, pertanian merosot, rakyat kerja paksa dan membayar pajak

D. Masuknya Agama Kristen
Perkembangan agama Kristen di Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Dalam kenyataannya agama Kristen Katolik dan Kristen Protestan berkembang di berbagai daerah. Bahkan di daerah Indonesia bagian Timur seperti di Papua, daerah Minahasa, Timor, Nusa Tenggara Timur, juga daerah Tapanuli di Sumatera, agama Kristen menjadi mayoritas.

Pada tahun 650 agama Kristen sudah mulai berkembang di Kedah (Semenanjung Malaya) dan sekitarnya. Pada abad ke-9 Kedah berkembang menjadi pelabuhan dagang yang sangat ramai di jalur pelayaran yang menghubungkan India-Aceh-Barus- Nias-melalui Selat Sunda-Laut Jawa dan terus ke Cina. Jalur inilah yang disebut sebagai jalur penyebaran agama Kristen dari India ke Nusantara.

Agama Kristen (Katolik dan Protestan) masuk dengan cara damai melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan. Agama ini tumbuh di daerah-daerah pantai di Semenanjung Malaya dan juga pantai barat di Sumatera.

Kedatangan bangsa-bangsa Barat itu semakin memantapkan dan mempercepat penyebaran agama Kristen di Indonesia. Orang-orang Portugis menyebarkan agama Kristen Katolik (selanjutnya disebut Katolik). Orangorang Belanda membawa agama Kristen Protestan (selanjutnya disebut Kristen).

Agama Katolik dan Kristen berkembang di daerah-daerah Papua, wilayah Timur Kepulauan Indonesia pada umumnya, Sulawesi Utara dan tanah Batak di Sumatera. Singkatnya agama Katholik dan Kristen dapat berkembang di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Batavia dan Jawa pada umumnya. Bahkan di Jawa ada sebutan Kristen Jawa.